Rilis kegiatan Hari Kartini
Sekolah Alam-Padang, 21 April 2013
WCC Nurani Perempuan
Apa kabar Sumatera Barat.
Apa kabar Indonesia.
Apa kabar perempuan Indonesia.
Siapa yang tidak mengenal Kartini? Sosok perempuan
progresif yang selalu terkukung oleh lingkaran sosial yang bernama feodalisme. Nilai-nilai
yang melekat dari trah sosialnya (baca: adat) ternyata tidak menempatkan
Kartini pada posisi yang kokoh sebagai perempuan. Tidak hanya Kartini, kaum
perempuan kala itu tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Potret
Kartini yang terlahir dari keluarga priyayi yang makmur dan berpendidikan
tinggi, rupanya tidak menjadi alasan bahwa setiap hak-haknya sebagai perempuan
akan terpenuhi sebagaimana laki-laki di lingkungannya.
Meski demikian, ide dan semangat Kartini jauh lebih
besar melebihi persoalan di depan matanya. Satu persatu ide dan gagasannya
lahir. Saat itu, kebanyakan gagasan Kartini berangkat dari pengamatannya
terhadap kondisi perempuan Jawa tentang kekerasan, marginalisasi dan
subordinasi. Untuk merealisasikan cita-cita tersebut, Kartini bersorak lantang
bahwa “Kita harus membuat sejarah, kita mesti
menentukan masa depan kita yang sesuai dengan keperluan serta kebutuhan kita
sebagai kaum wanita dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti halnya
kaum laki-laki”.
Sepertinya dulu
Kartini pernah bermimpi, bahwa isu kekerasan terhadap perempuan (KtP) dalam
bentuk apapun akan terkikis selang beberapa periode setelah kehidupannya.
Ternyata mimpi Kartini keliru. Mimpi itu hanya menjadi asa yang selalu
diharapkan namun tak berkesudahan.
Realitasnya, kasus-kasus
KtP hingga saat ini setiap harinya selalu meningkat. Sepanjang
tahun 2011 kemarin saja, total kekerasan yang didata dan dilaporkan sebesar
119.107, selisih 20.000 kasus lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. Lebih
dari 95% dari kekerasan itu dialami perempuan di ranah domestik berupa
kekerasan dalam rumah tangga dengan istri sebagai korban kekerasan yang paling
dominan. Begitu juga dengan kasus KtP lainnya seperti pelecehan seksual,
perkosaan, penyiksaan, marginalisasi, subordinasi, stereotype, beban ganda dan
sebagainya.
Sementara itu, di Sumatera Barat kasus kekerasan terus
bermunculan, kali ini merambah ke dunia pendidikan. Anak menjadi korban atas
perlakuan yang seharusnya tidak mereka terima. Mereka cendrung disalahkan dan
selalu diposisikan sebagai pelaku dan bagian dari kekerasan. Seharusnya mereka
berhak mendapatkan advokasi dan penanganan khusus. Hal ini dikarenakan
posisi mereka sebagai korban, bukan pelaku.
Diantara kasus yang pernah ditangani WCC Nurani
Perempuan, anak sering dijadikan korban salah sasaran oleh lembaga
pendidikan yang bersangkutan. Salah satu kasus yang menimpa seorang
siswi di Payakumbuh, terkait dugaan bahwa siswi (korban) melakukan tindakan di luar ambang kewajaran.
Padahal korban hanya melakukan nikah sirri, dan hal itu diketahui oleh
sanak saudaranya. Akibatnya, korban terancam diberhentikan sekolah dan tidak bisa mengikuti Ujian Nasional (UN) lantaran
alasan yang tak jelas. Jadi apa sebenarnya yang menjadi persoalan?
Kekerasan serupa juga terjadi di Kota Padang. Dua
orang siswi sekolah menengah pertama (SMP) terancam putus sekolah. Usut
perkara, kedua siswi terjaring dalam razia petugas Satpol PP dan kemudian
diduga sebagai wanita panggilan. Karena itu, kedua siswi tersebut dikeluarkan
dari sekolah dan tidak dibolehkan lagi menganyam bangku pendidikan di kota
Padang. Semiris itu kah? Kebijakan tersebut disampaikan lansung oleh Wali Kota
Padang Fauzi Bahar kepada kepala Dinas Pendidikan kota Padang pada Maret bulan
lalu (22/3).
Mencermati fenomena di atas, kebijakan yang
deskriminatif masih mewarnai dunia pendidikan. Kongkritnya, lembaga pendidikan tentu
harus sensitive dengan isu-isu yang berkaitan dengan relasi kekerasan. Hak-hak
anak dalam menerima pendidikan harus menjadi perhatian. Setiap anak berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya.
Sebagaimana prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak yang tertera dalam
Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak pasal 2; (a)
non-deskriminasi, (b) kepentingan yang terbaik bagi anak, (c) hak untuk hidup,
kelansungan hidup dan perkembangan, (d) penghargaan terhadap anak.
Untuk mendorong terwujudnya kebijakan yang
non-deskriminatif, maka WCC Nurani Perempuan menuntut kepada pemerintah kota
padang (Sumatera Barat) dan lembaga terkait agar mensinergikan produk-produk
kebijakan pendidikan yang ramah dan memihak terkait perlindungan hak-hak
perempuan dan anak. Segera sikapi/tindak lanjuti kasus di atas secara
proporsional. Serta menjadikan isu kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi isu penting dalam tujuan
pembangunan nasional.
Dengan ini, semoga akan terlahir Kartini-Kartini muda
yang lebih progresif untuk memajukan Indonesia, terutama Sumatera barat. (..)
No Response to "Selamatkan Hak Pendidikan Anak"
Posting Komentar