Oleh : Yefri Heriani
Aktif di Nurani Perempuan Women’s
Crisis Center
Dimuat di Harian Padang Ekspres
Jumat, 10/05/2013
Kekerasan terhadap anak terjadi diberbagai
tempat, baik itu di ranah domestik (rumah) maupun di ranah publik
(tempat/fasilitas umum seperti pasar, ruang bermain termasuk sekolah). Berbagai
jenis dan bentuk kekerasan ditemukan. Pertama,
kekerasan fisik ditemukan dalam bentuk pemukulan anak, menempeleng, melempar
dengan benda keras, menendang, menjambak dan lainnya. Kedua, kekerasan psikologis/mental/psikis
dalam bentuk mengata-ngatai anak dengan perkataan kasar, hinaan, makian,
umpatan, hujatan, menghakimi, perlakuan diskriminatif, dan lainnya. Ketiga, penelantaran anak secara
ekonomi dengan mengeksploitasi mereka untuk mendapatkan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan orang dewasa, tidak memberikan biaya dengan berbagai alasan.
Keempat, kekerasan seksual yang
terjadi dalam bentuk perkosaan/pencabulan, pelecehan seksual, perdagangan anak
dengan tujuan seksual, dan lainnya.
Berbagai bentuk kekerasan ini telah berdampak
pada anak. Beberapa dampak yang sering kerusakan secara fisik baik dalam bentuk
luka dan kecacatan seumur hidup bahkan kematian, hilangnya rasa harga diri
anak, trauma, kehamilan yang tak diinginkan, aborsi, penyakit menular seksual
serta penolakan untuk mendapatkan pendidikan dibangku sekolah. Beberapa waktu
terakhir ini kasus kekerasan/kejahatan seksual banyak dilaporkan dan terjadi
pada anak yang hampir 93% diantaranya adalah pelajar.
Kekerasan Seksual pada Anak
(Pelajar) Perempuan
Laporan kasus kekerasan terhadap anak dari
waktu ke waktu mengalami peningkatan. Berbagai pemberitaan media lokal maupun
data yang ditunjukan oleh beberapa lembaga pemerintahan dan lembaga swadaya
masyarakat memastikan bahwa berbagai bentuk kekerasan terhadap anak terjadi
dan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Anak mendapatkan
berbagai jenis kekerasan, baik fisik, psikologis, ekonomi dan seksual. Kasus
kekerasan yang saat ini menjadi perhatian dan sorotan banyak pihak adalah kekerasan
seksual yang terjadi pada anak. Untuk data kekerasan seksual Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak (UPPA) Polres Padang mencatat pada tahun 2011 ada 18 kasus
kekerasan seksual yang terjadi pada anak. Sementara hingga November 2012 data
yang tercata di lembaga ini sebanyak 26 kasus. Sementara Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten 50 Kota mengungkapkan ada 117 kasus kehamilan di luar
nikah sepanjang tahun 2012. Dua diantaranya janda, yang lainnya terdiri dari
mahasiswa, pelajar SMP dan SMA (Padang Ekspres, 27 Maret 2013). Data dan kasus
yang terungkap ini ibarat fenomena gunung es, terungkap di satu kabupaten
dalam jumlah tertentu, namun besar kemungkinan kita terdapat kasus lain yang
belum dilaporkan di kabupaten tersebut. Tentunya data dan kasus dapat juga
ditemukan di kabupaten-kabupaten lain.
Dalam berbagai kasus kekerasan seksual pada
anak, anak yang menjadi korban sering disalahkan, dilekatkan berbagai label
negative oleh orang di sekitar mereka. Kondisi ini disebabkan karena masyarakat
cendrung melihat bahwa kasus ini terjadi karena korban sebagai pemicu atau
pemancingnya. Akibatnya, tidak sedikit anak perempuan korban kekerasan seksual
yang harus kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan karena hak tersebut
direnggut dan dihilangkan oleh kekuasaan yang tentunya tak dimiliki oleh anak.
Kasus kota Padang dua siswi SMP terjaring oleh Pol PP Padang yang disinyalir
sebagai wanita panggilan, membuat Wali Kota Padang Fauzi Bahar menegaskan Dinas
Pendidikan Padang memberhentikan dan tidak mengizinkan lagi siswi SMP tersebut
bersekolah di Padang. (Padek, 23 Maret 2013). Sementara di Kota Payakumbuh
seorang kepala sekolah SMP tidak menerima siswi yang menjadi korban pencabulan
laki-laki dewasa (kasus dilaporkan oleh Nurani Perempuan WCC), di Pariaman
siswi korban pelecehan seksual juga dikeluarkan dari sekolah (kasus dilaporkan
LBH Padang), di Padang panjang siswi korban kejahatan seksual diberhentikan dan
tidak diberi kesempatan untuk bersekolah di Padangpanjang. Sekali lagi,
tentunya masih ada kasus-kasus yang mirip terjadi di tempat lainnya, yang belum
atau tidak terlaporkan. Untuk kasus di Payakumbuh dan Pariaman, pelajar tidak
dapat mengikuti ujian akhir pada tahun ini.
Masyarakat luas, terutama orang dewasa banyak
yang lupa dan tidak melihat bagaimana struktur sosial memposisikan anak,
terutama anak perempuan dalam keluarga, masyarakat juga negara. Anak perempuan
dalam struktur sosial posisinya bukanlah sebagai penentu. Dalam pola relasi di
tengah hubungan personal, anak perempuan tidak memiliki relasi kuasa yang
setara dengan laki-laki (baik pacar, ayah, saudara laki-laki, kenalan, guru,
paman, ustadz, dan seterusnya). Anak perempuan menjadi subordinat, bukan superordinat.
Dengan posisi sebagai subordinat anak perempuan disadari atau tidak
ditempatkan sebagai objek (korban struktur sosial). Sehingga adalah tindakan
yang tidak benar (kejahatan) jika mereka diberikan hukuman yang mengakibatkan
tercabutnya hak-hak dasar (hak-hak konstitusional) mereka untuk mendapatkan
pendidikan. Tindakan yang berakibat pada viktimisasi pelajar korban kejahatan
seksual perlu segera dihentikan.
Pemenuhan Hak-hak Anak (Pelajar) Korban
Kekerasan Seksual
Diperlukan satu cara pandang yang dapat
melihat lebih dalam dan komprehensif terhadap isu kekerasan seksual yang
terjadi pada anak di bangku pendidikan sehingga orang dewasa (orang tua, wali
ataupun guru serta pemerintah sebagai pengambil kebijakan) bisa memberikan
dukungan dan melindungi mereka. Adalah tanggungjawab orang dewasa untuk
menjamin pemenuhan hak-hak anak dalam kondisi apa pun.
Pemenuhan hak-hak konstitusi anak tentu untuk
keperntingan terbaik anak sebagai pertimbangan dalam semua tindakan yang
menyangkut anak (pasal 3, KHA). Konvensi Hak Anak (KHA) telah diratifikasi
melalui Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1996. Hak-hak anak menurut KHA
dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu : (1). Hak Kelangsungan Hidup, hak untuk
melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak memperoleh standar kesehatan
tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. (2). Hak Perlindungan,
perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan keterlantaran. (3).
Hak Tumbuh Kembang, hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar hidup
yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. (4).
Hak Berpartisipasi, hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi
anak. KHA lebih dikuatkan dengan adanya UU-Perlindungan Anak nomor 23 tahun
2002.
Dalam Undang-undang ini, anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan. (Pasal 1, ayat 1). Pasal 13 dalam undang-undang ini menegaskan
bahwa: (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan
dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun
seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal
orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan
hukuman.
Tanggungjawab Pemerintah
Diperlukan tindakan segera agar tidak terjadi
pembiaran atas viktimisasi pelajar korban kejahatan seksual. Pemerintah harus
mengambil tanggungjawab atas berbagai tindakan yang tidak adil, deskriminatif
yang dialami oleh anak (pelajar) korban kekerasan (kejahatan) seksual yang
dilakukan oleh kepala sekolah atau pejabat negara lainnya. Tindakan mencabut
hak anak untuk mendapatkan pendidikan secara sewenang-wenang jelas
bertentangan dengan KHA, UU-Perlindungan Anak dan tentunya dengan konstitusi
Negara Indonesia – UUD 1945. Karena itu perlu tindakan tegas atas
kesewenang-wenangan yang terjadi. (..)
ed. Fadhli
No Response to "Penuhi Hak-hak Konstitusioal Anak Korban Kekerasan"
Posting Komentar