KABA NURANI. Lembaga
Womens Crisis Centre (WCC) Nurani Perempuan mencatat, sepanjang Tahun 2013
sebanyak 88 kasus kekerasan menimpa perempuan. Terdiri dari kekerasan seksual
39 kasus, kekerasan dalam rumah tangga 35 kasus, dan kekerasan lainnya 14
kasus.
Direktur Lembaga WCC Nurani Perempuan Yefri Heriani mengatakan, kasus di atas itu merupakan kasus yang terjadi sepanjang Tahun 2013 yang ditangani WWC.
“Bisa saja kasus jumlahnya lebih dan melapornya ke lembaga lain yang terkait perempuan dan anak,” katanya, di Sekretariat WWC, di Jalan Anggrek, Flamboyan, Padang, Rabu (8/1/2014).
Selain kasus tersebut, kasus yang paling banyak dialami perempuan adalah pemerkosaan. Kasus ini dibagi dalam tujuh bagian, terdiri kasus perkosaan sebanyak 25 kasus, gan rape (perkosaan ramai-ramai) satu kasus, percobaan perkosaan satu kasus, dan perkawinan paksa secara siri tiga kasus.
Selain itu, pelecehan seksual tiga kasus, kehamilan yang tidak diinginkan empat kasus, dan kekerasan dalam berpacaran dua kasus. Dari 88 kasus tersebut, 29 korban melaporkan kasusnya ke kepolisian, dan 11 kasus di antaranya sudah sampai di pengadilan.
Dari jumlah itu, tujuh korban menjalani persidangan di Pengadilan Agama, satu korban melaporkan kasus ke Ombudsman, tiga korban menjalani proses komunal, di mana pelakunya mendapatkan sanksi adat.
“Kalau melihat perkembangan kasus saat ini, tampaknya sudah meningkat. Terkait jumlah pelaporan ke kepolisian, ini berkat adanya sosialiasi kepada masyarakat untuk sadar hukum,” terangnya.
Namun dalam proses hukum tersebut juga tidak semudah yang dibayangkan, sebab dalam proses hukum masih ada tindakan dan pernyataan menyalahkan korban yang keluar mulut dari aparat penegak hukum selama menangani korban.
“Selain itu kadang pemberitaan media sering juga ditemukan kurang sensitif terhadap korban, karena sering informasi diambil dari catatan laporan kepolisian. Ada juga laporan korban sering ditolak, karena dianggap kurang bukti,” katanya.
Masalah lain yang muncul selama penanganan kasus tersebut, sering ada upaya mediasi untuk berdamai, termasuk kasus perkosaan. Apalagi dilakukan oleh aparat hukum.
“Tindakan aparat hukum tersebut menjadi tantangan dalam proses korban untuk mendapatkan keadilan yang menjadi bagian penting dalam proses pemulihan,” ungkap Yefri.
Seharusnya, aparat penegak hukum menjelaskan proses yang dilalui oleh pelapor atau korban. Kemudian menjalankan kerjanya secara tanggung jawab, tanpa membebankan korban dengan alasan apapun, terkait pencarian bukti dan menghadirkan saksi. “Aparat penegak hukum juga harus memberikan kenyamanan pada korban,” jelasnya.
Pihaknya juga meminta kepada pemerintah agar anggaran untuk peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam melayani berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kasus seksual, ditingkatkan.
“Selanjutnya pembiayaan berbagai proses yang harus dilalui korban termasuk visum dan biaya mendapatkan bukti pendukung lain dan saksi. Menyediakan fasilitas keamanan, dan kenyamanan bagi perempuan korban kekerasan,” pungkasnya. (san-Sindonews)
ed. Fadhli
No Response to "Kasus kekerasan terhadap perempuan masih tinggi"
Posting Komentar