Senin, 25 Agustus 2014

Aborsi dan Kekerasan Seksual

Judul Asli: Titik Temu Kebijakan Aborsi
Diterbitkan di Padang Ekspres
Tanggal: 25 Agustus 2014
Oleh: Ashabul Fadhli
Relawan Nurani Perempuan Women’s Crisis Center

Sejak aturan resmi mengenai tindak pengguguran kandungan (baca:aborsi) resmi dikeluarkan, menggiring opini bahwa persoalan aborsi tidak tuntas dengan lahirnya Peraturan Pemerintah yang menaunginya. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, kebijakan ini dituding longgar dan cendrung mudah untuk disalahgunakan. Akibatnya, masyarakat beserta elemennya beramai-ramai meneriakkan agar pemerintah membahas kembali terkait kebijakan yang sudah dianggap final.

Merunut dari terbentuknya PP Kesehatan Reproduksi yang dikeluarkan lansung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli lalu, dijelaskan bahwa PP tersebut merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam aturan Undang-Undang Kesehatan persoalan mengenai aborsi diatur dalam Pasal 75 ayat (1) yang berbunyi bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Klausul ini diberi pengecualian yang mengacu pada alasan medis dan kondisi sosial yang dihadapi oleh perempuan hamil.

Dalam prakteknya, bagi perempuan hamil yang berkeinginan untuk menggurkan kandungan dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu maupun janin. Begitu juga dengan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Bagi Mentri Kesehatan Nafsiah Mboi melalui keterangannya beberapa waktu lalu (20/8) menyampaikan bahwa aborsi sama sekali tidak bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Berbeda dengan keresahan yang dirasakan oleh sebagian kalangan, argument yang dibangun untuk melakukan aborsi sulit untuk bisa dibenarkan. Aborsi sangat berbahaya karena dapat diindikasikan sebagai upaya menghilangkan nyawa atau hak hidup seseorang. Padahal, dalam konstitusi di Indonesia, negara telah menjamin dan melindungi anak beserta hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kendati demikian, anak dipandang sebagai amanah dan karunia Tuhan, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.

Aborsi sebagai pilihan
Belakangan, sejak sejumlah lembaga layanan beserta Komnas Perempuan meneriakkan bahwa Indonesia berada dalam wabah darurat nasional terkait kekerasan seksual awal tahun 2013 lalu,  beragam aksi preventif melalui berbagai media kerap dilakukan. Dilema kekerasan seksual yang disinyalir jumlahnya meningkat secara fantastis dari tahun ke tahun. Kondisi ini diterangai menjadi awal mula pembicaraan terkait PP Kesehatan Reproduksi, yang dalam hal ini adalah aturan aborsi. Aturan yang sebelumnya hanya dibicarakan dalam ruang Undang-Undang Kesehatan, dianggap masih terbatas dalam aspek perlindungan korban. Karena itu, untuk menciptakan kondisi strategis yang berpihak pada perlindungan perempuan korban maka harapan akan hadirnya PP Kesehatan Reproduksi saat itu menjadi cita trobosan yang dinanti-nanti.

Ironisnya, sejak PP ini diketengahkan dan diperbincangkan sebagai kebijakan baru, banyak pihak yang terlupa bahwasanya PP ini seharusnya disikapi sebagai hasil pencapaian bersama. Kecaman untuk melakukan aborsi serta pelabelan tindakan aborsi sebagai bentuk pembunuhan dan pelanggaran HAM tidak dibarengi dengan mencoba mengungkap realitas sosial yang ada. Dengan banyaknya korban kekerasan seksual yang mengalami persoalan ganda dengan status kehamilan tidak diinginkan (KTD), seyogyanya melalui kebijakan ini diharapkan dapat memberikan angin segar atas keberlansungan masa depan perempuan sebagai korban.

Bagi perempuan korban yang berusia anak ataupun dewasa, lambat-laun menyisakan persoalan yang kemudian luput dari perhatian. Bagi beberapa korban, kejadian tidak manusiawi yang mereka terima sulit untuk dicarikan solusinya. Tidak sedikit perempuan yang harus menjadi ibu-ibu muda pasca kekerasan yang menimpanya. KTD diindikasi menjadi pisau bermata dua yang melahirkan trauma sekaligus beban secara mental dan sosial. Bagian terburuk adalah ketika korban putus asa dan tidak lagi peduli akan dirinya sendiri. Meski demikian, alternative yang senantiasa ditawarkan berupa layanan pendampingan terus dilakukan, meskipun dalam realitanya layanan tersebut dirasa belum cukup untuk mencapai pada fase pemulihan secara total.

Bagi korban yang berada dalam kondisi KTD, kesulitan untuk menentukan pilihan-pilihan kedepan menjadi kendala utama dalam proses pemulihan. Kesiapan psikis untuk menerima keadaan yang tidak sepenuhnya diyakini sebagai dirinya, kehadiran janin atau calon anak tanpa kehadiran ayah biologis, keberadaan sebagai single parent, beban finansial terkait biaya membesarkan anak serta bentuk penerimaan lingkungan sekitar yang terkadang cendrung apatis merupakan gambaran dari sulitnya posisi perempuan dalam relasi yang tunggal. Lebih lagi, kultur masyarakat di nusantara masih cendrung menempatkan perempuan korban sebagai makhluk yang marginal dan disalahkan, bahkan dianggap sebagai aib yang menodai nama baik keluarga.

Sebagai bentuk kepedulian, perempuan korban dapat didampingi melalui pendekatan berbasis konseling. Melalui layanan pra-konseling, perempuan korban kekerasan akan difasilitasi untuk kembali mengenali dirinya. Hal ini tentu saja terkait dengan usaha yang bertujuan untuk membantu kesiapan korban menerima pribadinya serta kembali survive dalam lingkungan sosialnya. Dalam konteks ini, korban akan diarahkan secara rasional untuk mengambil keputusan secara matang, bukan melalui paksaan. Artinya, setiap keputusan yang dihasilkan oleh korban adalah hasil refleksi yang ia gali dari dirinya sendiri (pro-right). Proses ini membutuhkan waktu yang panjang dengan pertimbangan yang akurat, tidak emosional. Bukan pertimbangan-pertimbangan sepihak (pro-choice) yang bertujuan untuk menyelamatkan diri korban semata tanpa memikirkan kehidupan janin di dalam kandungan.

Dalam proses yang terus berjalan, korban tentunya difasilitasi dengan memberikan pendampingan secara medis, bantuan hukum, pertimbangan agama serta melibatkan keluarga terdekat dalam mengambil keputusan, termasuk diantaranya mengenai keputusan untuk menerima atau menggugurkan kandungan. Pembicaraan ini akan berlansung pada layanan pasca-konseling; pembicaraan tentang bagaimana korban dapat menata masa depan dengan kehidupan barunya seiringnya kehadiran seorang bayi, atau terhindar dari trauma (abortion syndrome) jika aborsi yang menjadi pilihan. Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah, jika pilihan tertuju untuk melakukan aborsi, keputusan tersebut mesti diyakini sebagai pilihan terbaik demi menyelematkan kehidupan dan masa depan korban.

Merujuk pada fatwa MUI Nomor 4 tahun 2005 disebutkan bahwa salah satu penyebab tidak dibolehkannya aborsi dikarenakan banyaknya praktek aborsi dilakukan secara frontal tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan yang akurat sehingga menimbulkan bahaya bagi perempuan yang mengandungnya dan bagi masyarakat pada umumnya. Artinya, pilihan untuk melakukan aborsi adalah pilihan yang bersifat opsional karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat. Keadaan darurat yang membolehkan aborsi yang mencakup pertimbangan medis. Begitu juga dengan keadaan hajat yang berkaitan dengan kondisi social perempuan korban yang ditetapkan oleh tim yang berwenang seperti keluarga , dokter, dan ulama.

Jika diperhatikan dengan seksama, bentuk pertimbangan-pertimbangan di atas tidak berbenturan dengan praktek aborsi apabila dilakukan secara prosedural. Kedepannya, sebaiknya keberadaan PP ini dikaji secara komperhensif. Aborsi tetap berlaku ketat. Abborsi tidak akan diberlakukan apabila dilaksakan diluar koridor yang ada. Bagi yang berkepentingan, jangan sampai kehadiran PP ini kemudian melegalkan alasan aborsi karena zina atau menyalahi aturan hukum sebagaimana yang dikhawatirkan masyarakat. Karena itu, bagi perempuan korban yang mengalami persoalan ganda dengan adanya KTD, cara terbaik tentu dengan berkonsultasi serta melibatkan lembaga-lembaga terkait untuk berperan penting dalam membantu upaya pemulihan, baik secara fisik maupun psikis (..)


Menkes pertegas soal PP Aborsi

Kaba Nurani. Sejumlah kalangan antara lain Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), meminta agar Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, direvisi.

Permintaan ini lahir lantaran PP, yang merupakan turunan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut, menghadirkan kontroversi seputar aborsi yang diperkenankan apabila perempuan menjadi korban perkosaan.

Bagaimana tanggapan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi? DitemuiRepublika selepas menghadiri pidato pengantar Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2015 di Gedung Sidang MPR/DPR/DPD RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jumat (15/8), Nafsiah memberikan jawabannya.  "Mereka (IDI, KPAI) belum baca (PP 61/2014) barang kali.  Tapi, nanti memang kami akan undang, supaya menjelaskan," ujar Nafsiah.

"Sebab itu adalah amanah UU.  Disusun bersama sejak 2009 oleh kementerian/lembaga dengan melibatkan MUI, melibatkan segala. Jadi, mungkin yang ditanya kebetulan belum baca.  Namun, kami tentu dengan senang hati akan mengundang mereka dan menjelaskan.

Sebenarnya tidak ada yang perlu direvisi, tidak ada yang perlu direvisi," kata Nafsiah yang sebelumnya menjadi Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.

Selain IDI dan KPAI, Kepolisian Republik Indonesia melalui Kapolri Jenderal Sutarman menyebut PP 61/2014 bisa menjadi persoalan dan perlu didiskusikan lagi dengan melibatkan seluruh komponen bangsa.  "Saya kira cara-cara melegalkan aborsi akan berbahaya bagi kehidupan," kata Sutarman (Republika Jumat 15 Agustus 2014).  Keengganan IDI dan pernyataan Kapolri tentu dapat berimbas kepada pelaksanaan PP 61/2014.

Sebab, dokter bertugas menangani proses kelahiran, sedangkan polisi menentukan benar atau tidaknya perkosaan dilakukan terhadap perempuan.  Menanggapi kondisi tersebut, Nafsiah meyakini PP ini akan tetap berjalan.  "Saya tidak percaya.  IDI pasti belum baca, didadaki oleh wartawan, atau disalah kutip oleh wartawan.  Saya tidak percaya IDI begitu.  Kalau polisi, tadi saya bicara dengan Kapolri bahwa ada tim terpadu untuk mengatasi perkosaan."

"Atau kekerasan terhadap perempuan," kata Nafsiah.  Lebih lanjut, Nafsiah kembali menjelaskan bahwa pada dasarnya aborsi dilarang UU 36/2009 dan PP 61/2014.

Aborsi dapat dilakukan jika perempuan mengalami kedaruratan medis dan menjadi korban perkosaan.  "Nah itu aja dijelaskan di dalam PP supaya jangan ada salah paham.  Apa sih yang dimaksud kedaruratan medis, apa sih yang dimaksud aborsi akibat perkosaan? Itu kan sudah masuk UU."

Komnas Perempuan Dukung PP Aborsi

Kaba Nurani. Komnas Perempuan menilai, PP Nomor 61/2014 sudah tepat. Karena PP itu dinilai dapat mengurangi dampak psikoligis wanita yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan.

"Ya kami setuju, pertimbangannya lebih pada trauma yang dialami korban perkosaan akan berganda ketika mereka mengalami kehamilan yang tidak diinginkan," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Desi Murdjiana kepadaRepublika, Ahad (10/8).

Dengan adanya PP itu, menurut Desi, negara sudah melakukan langkah yang tepat. Karena telah membolehkan perempuan yang diperkosa dapat menggugurkan kandungannya. 

Apalagi, kata Desi, perkosaan tidak bisa digolongkan dengan masalah sosial biasa. Tak hanya itu, UU Kesehatan dan PP itu juga bisa membatasi kategori korban pemerkosaan dan bukan. 

Hal itu yang menjadi tugas penegak hukum dan tenaga ahli medis. Mereka harus dapat membuktikan apakah wanita itu korban pemerkosaan atau bukan.

"Jadi tidak semua orang dengan mudah mengaku sebagai korban perkosaan hanya alasan untuk bisa aborsi," katanya.


Sabtu, 28 Juni 2014

Tingkatkan Kapasitas Perempuan di Legislative

Kaba Nurani. Dalam upaya melakukan refleksi hasil pemilu legislative pada April 2014 lalu, WCC Nurani Perempuan mengadakan seminar sehari dan refleksi Perolehan Suara Perempuan Dalam Pemilihan Legisltif 2014 Di Provinsi Sumatera Barat. Seminar ini merupakan tindak lanjut dari pelatihan bagi para caleg perempuan, temu konstituen dan radio talkshow di beberapa kota yang sudah dilakukan sejak akhir 2013 lalu.

Bertempat di Pangeran Beach Hotel, seminar ini dihadiri sekitar 140 orang, yang terdiri dari caleg pada pemilihan legislatif 2014 tingkat provinsi dan   kabupaten/kota, Ibu Walikota, mahasiswa mahasiswi Ilmu Politik Unand dan tokoh masyarakat. Di awal acara, seminar yang lansung dibuka oleh Dwi Indriani Madewi dari Asia Foundation akan berbicara tentang (1) Peningkatan keterlibatan perempuan di ranah public (2) Meningkatkan kapasitas perempuan legislative dalam melaksanakan peran dan tanggung jawab sebagai pejabat terpilih, dan (3) Meningkatkan sensitifitas gender adalah berbagai kebijakan yang disahkan oleh parlemen dan penguatan hubungan antara perempuan legislator dan konstituen mereka.

Beberapa catatan terkait dari hasil pemilu 2014 dan refleksi hasil bagi keterwakilan perempuan di beberapa daerah adalah:
1.      Adanya perbedaan trend dibeberapa daerah. Beberapa daerah mengalami penurunan jumlah suara perempuan terpilih, namun dibeberapa tempat mengalami kenaikan yang cukup signifikan seperti Aceh.
2.      Adanya pergantian dari orang lama ke orang baru dalam politik yang terpilih. Ini memerlukan refleksi mendalam dalam tentang ikatan wakil rakyat dan masyarakat kosntutuen mereka.
3.      Dari analisa tersebut perlu disiapkan kedepan dari hubungan antara wakil dengan rakyatnya, ini dalam hal pemenuhan atas janji pemilu dan tidak membuat masyarakat jadi apatis pada politik.
4.      Tetap perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam untuk kedepannya tentang system kepemiluan, system pemilu sehingga reformasi atas system tersebut bisa segera dilaksanakan.

Berdasarkan pengamatan sejauh ini, Jumlah kursi di DPRD Provinsi dan 6 kabupaten/kota di Sumbar bertambah sampai 40 kursi. DPRD Sumbar, misalnya bertambah 10 kursi dari sebelumnya 55  menjadi 65 kursi. Sementara, 6 kabupaten bertambah masing-masing 5 kursi.

Dari 540 kursi sebelumnya, menjadi 585 kursi, atau naik 8,3 persen. Tapi apa mau dikata, data yang dilansir NGO Nurani Perempuan pada Selasa (17/6/2014) lalu menunjukkan, 45 kursi bertambah, 43 masih milik laki-laki, perempuan hanya bertambah 2 kursi. Meski sedikit bertambah dari segi jumlah, namun dari sisi persentase semakin berkurang.

Pada 2009, di DPRD provinsi, kabupaten dan kota di Sumbar, dari 540 kursi ada 47 kursi untuk perempuan. Pada 2014, dari 585 total kursi, hanya 49 kursi untuk perempuan. Di antara 19 kabupaten/kota yang paling miris adalah Kabupaten Solok Selatan, Kepulauan Mentawai dan Pasaman Barat. Karena, dari data yang dirilis Nurani Perempuan, di tiga kabupaten ini tak satupun caleg perempuan yang duduk. Berikut datanya:

           DPRD
            2009
              2014
Keterangan
  P
  Kursi
   %
   P
  Kursi
   %
Provinsi Sumbar
  7
  55
 12,7
  6
  65
  9,2
Turun
Kota Padang
  3
  45
  6,7
  7
  45
 15,5
Naik
Kab Padang Pariaman
  3
  35
  8,6
  2
  40
  5
Turun
Kota Pariaman
  2
  20
  10
  1
  20
  5
Turun
Kota Padang Panjang
  4
  20
  20
  4
  20
  20
Sama
Kab. Tanah Datar
  3
  35
  8,6
  3
  35
  8,6
Sama
Kab. Agam
  3
  40
  7,5
  1
  45
  2,2
Turun
Kota Bukittinggi
  4
  25
  16
  2
  25
  8
Turun
Kab. Pasaman Barat
  1
  35
  2,8
  0
  40
  0
Turun
Kab. Pasaman
  1
  30
  3,3
  2
  35
  5,7
Naik
Kota Payakumbuh
  2
  25
  8
  2
  25
  8
Sama
Kab. Lima Puluh Kota
  2
  35
  5,7
  4
  35
 11,4
Naik
Kab. Pesisir Selatan
  0
  40
  0
  3
  45
  6,7
Naik
Kab. Mentawai
  0
  20
  0
  0
  20
  0
Sama
Kota Solok
  2
  20
  10
  1
  20
  5
Turun
Kab. Solok
  1
  35
  2,8
  3
  35
  8,6
Naik
Kab. Solok Selatan
  2
  25
  8
  0
  25
  0
Turun
Kota Sawahlunto
  4
  20
  20
  4
  20
  20
Sama
Kab. Dharmasraya
  1
  25
  4
  1
  25
  4
Sama
Kab. Sijunjung
  2
  25
  8
  3
  30
  10
Naik
 JUMLAH
 47
 545
  8,6
  49
 585
  8,4
Turun

Harapan dari seminar ini, bisa mendapatkan informasi dan data yang mutakhir tentang keterwakilan perempuan di provinsi dan kabupaten di Sumbar (ed. Fadhli)