Peringatan hari ibu pada tanggal
22 Desember seharusnya bukan hanya menjadi sebuah seremonial belaka. Akan
tetapi, bisa kita jadikan sebagai refleksi dalam menyikapi isu-isu terkait
tentang perempuan di Sumatera Barat.
Berikut merupakan hasil wawancara
Zeni Eka Putri (redaktur padang-today.com) dengan Yefri Heriani (Direktur WCC
Nurani Perempuan).
Sudah tuntaskah permasalahan yang
menyangkut isu-isu yang terkait dengan perempuan di Sumatera Barat?
Tentunya isu tentang perempuan tak akan pernah tuntas, sepanjang perempuan ada dan sepanjang belum ada kebijakan yang benar-benas secara terintegrasi melihat perempuan sebagai manusia yang utuh. Maksudnya, sepanjang pemerintah, komunitas dan individu masih memandang perempuan sebagai objek, maka persoalan perempuan masih tetap akan menjadi tantangan.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, perempuan selalu dilihat sebagai makhluk nomer dua dan laki-laki sebagai makhluk nomor satu. Sebagai makhluk yang ditempatkan posisinya secara social lebih tinggi dari perempuan, maka laki-laki diberi legitimai social untuk berkuasa. Relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan semakin memperburuk kondisi perempuan. Sehingga isu perempuan menjadi berkembang dan meluas.
Begitu juga di Sumatera Barat, meskipun secara konsep Sumatera Barat khususnya masyarakat Minangkabau menempatkan perempuan pada posisi yang terbaik, tapi tetap saja persoalan perempuan menjadi masalah social yang krusial yang mesti mendapatkan perhatian. Karena ternyata, garis keturunan yang matrilineal tidak dapat membebaskan perempuan di masyarakat Minangkabau terlepas dari persoalan-persoalan yang dikarenakan mereka berjenis kelamin perempuan.
Begitu juga orang Sumatera Barat yang bukan berasal dari suku Minangkabau, mereka selain mereka adalah perempuan, mereka menjadi kelompok minoritas yang rentan sekali mendapatkan perlakuan diskriminatif dari kelompok mayoritas. Sehingga persoalan yang mereka alami, bisa saja lebih banyak dari pada perempuan Minang yang ada.
Apa saja permasalahan yang masih terjadi terkait dengan isu perempuan dalam setahun terakhir ini? Kenapa bisa terjadi?
Tentunya persoalan ketidakadilan menjadi titik kritis dari persoalan perempuan. Lihat saja data menunjukan bahwa perempuan hingga saat ini masih mengalami persoalan rendahnya tingkat pendidikan. Dari 75,69 persen perempuan usia 15 tahun ke atas hanya berpendidikan tamat SMP ke bawah, di mana mayoritas perempuan hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat SD, yakni sebanyak 30,70 persen. Semakin tinggi tingkat pendidikan, persentase partisipasi pendidikan perempuan semakin rendah, yaitu SMA (18,59 persen), Diploma (2,74 persen), dan Universitas (3,02 persen). Ada 5 juta perempuan yang masih belum melek huruf. Angka partisipasi sekolah perempuan memang sudah meningkat dibandingkan persentase angka partisipasi sekolah pria, tetapi itu hanya pada tingkat pendidikan rendah
Hal lain, bila kita lihat dari sekitar 6 jumlah tenaga kerja Indonesia yang menjadi buruh migrant 70 persennya adalah tenaga kerja perempuan (sekitar 4,2 juta jiwa) yang kehidupan mereka miskin dan banyak diantara mereka juga menjadi kepala keluarga. Kondisi ini mengakibatkan beban mereka semakin berat.
Belum lagi pengalaman perempuan yang buruk dalam kekerasan. Data menunjukan bahwa 1 dari 3 orang istri menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh pasangannya. Tidak sedikit pula perempuan yang menjadi korban keekrasan aparat. Hingga saat ini hak-hak mereka sebagai korban belum dapat terpenuhi. Hal ini dapat disebabkan karena masih buruknya layanan dalam pemulihan dan terbatasnya kebijakan untuk perlindungan korban.
Apa tindakan yang dilakukan oleh Nurani Perempuan dalam menanggapi isu-isu permasalahan perempuan yang sedang berkembang?
Nurani Perempuan Women Crisis Center (NPWCC) sebagai lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan berupaya merespon kondisi perempuan yang masih terpuruk dalam berbagai masalah untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan seperti yang dicita-citakan ketika Negara ini diproklamirkan kemerdekaannya. Sebagai warga yang memiliki hak konstitusi, Nurani Perempuan mendorong pengambil kebijakan untuk merespon persoalan perempuan dengan membuat kebijakan yang lebih berpihak pada mereka. Dengan kebijakan yang ada diharapkan perempuan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk merencanakan kehidupan mereka.
Membangun kesadaran masyarakat tentang pola relasi / kuasa yang timpang yang telah mengakibatkan perempuan menjadi korban menjadi perhatian bagi NPWCC dalam melaksanakan berbagai aktivitasnya. Membantu masyarakat untuk menghapuskan stigma negative terhadap korban juga menjadi perhatian pernting.
Mendukung perempuan korban kekerasan dalam berjuang untuk mendapatkan pemulihan dan keadilan menjadi kerja harian NPWCC.
Sudah optimalkan peran stakeholder dalam mengatasi terkait permasalan isu-isu yang menyangkut perempuan?
Dengan melihat semakin banyak dan meluasnya persoalan perempuan, menunjukan peran dari berbagai stakeholder belum optimal. Memang yang terjadi hingga saat ini mengurusi perempuan, kita masih bekerja dipermukaannya saja. Belum bisa masuk hingga ke dalamnya. Ini dapat saja terjadi karena tidak sedikit stakeholder yang masih berpandangan bias gender terhadap apa yang dialami perempuan. Sikap yang acap menyalahkan korban menjadi salah satu penghalang untuk mengoptimalkan peran stakeholder. Tentunya masih terbatasnya kebijakan yang mendukung upaya-upaya yang dapat membantu perempuan bangkit menjadi tantangan berbagai stakeholder dalam bekerja.
Apakah perempuan selalu berada di posisi subordinat dalam permasalahan yang terkait isu perempuan? Mengapa?
Subordinasi merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang selalu menghantui perempuan. Posisi perempuan yang selalu diletakan setelah laki-laki seperti yang dinyatakan di atas telah menjadikan perempuan kehilangan haknya untuk berpartisipasi penuh dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya, terbatasnya akses perempuan dalam pengambilan keputusan baik di tingkat dirinya sendiri, keluarga, komunitas bahkan Negara.
Dalam momentum peringatan hari ibu ini, apakah ada pesan dan harapan kepada masyarakat, khususnya perempuan di Sumatera Barat?
Perempuan harus berdaya menjadi target terpenting dalam upaya menyejahterakan perempuan dan memberikan mereka rasa keadilan. Upaya memberdayakan masyarakat dilakukan dengan memberikan ruang yang seluasnya bagi mereka untuk meraih hak-hak mereka sesuai dengan apa yang telah dicantumkan dalam konstitus, sebagai seorang warga negara yang berjenis kelamin perempuan.
Karena itu, pemerintah harus menjamin agar perempuan mendapatkan hak-hak mereka tersebut. Misalnya saja hak perempuan untuk bebas dari ancaman, diskriminasi, kekerasan sdan hak untuk mendapatkan perlindungan serta hak untuk memperjuangkan hak mereka, seperti termuat dalam pasal 28 UUD 45. (*)
Tentunya isu tentang perempuan tak akan pernah tuntas, sepanjang perempuan ada dan sepanjang belum ada kebijakan yang benar-benas secara terintegrasi melihat perempuan sebagai manusia yang utuh. Maksudnya, sepanjang pemerintah, komunitas dan individu masih memandang perempuan sebagai objek, maka persoalan perempuan masih tetap akan menjadi tantangan.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, perempuan selalu dilihat sebagai makhluk nomer dua dan laki-laki sebagai makhluk nomor satu. Sebagai makhluk yang ditempatkan posisinya secara social lebih tinggi dari perempuan, maka laki-laki diberi legitimai social untuk berkuasa. Relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan semakin memperburuk kondisi perempuan. Sehingga isu perempuan menjadi berkembang dan meluas.
Begitu juga di Sumatera Barat, meskipun secara konsep Sumatera Barat khususnya masyarakat Minangkabau menempatkan perempuan pada posisi yang terbaik, tapi tetap saja persoalan perempuan menjadi masalah social yang krusial yang mesti mendapatkan perhatian. Karena ternyata, garis keturunan yang matrilineal tidak dapat membebaskan perempuan di masyarakat Minangkabau terlepas dari persoalan-persoalan yang dikarenakan mereka berjenis kelamin perempuan.
Begitu juga orang Sumatera Barat yang bukan berasal dari suku Minangkabau, mereka selain mereka adalah perempuan, mereka menjadi kelompok minoritas yang rentan sekali mendapatkan perlakuan diskriminatif dari kelompok mayoritas. Sehingga persoalan yang mereka alami, bisa saja lebih banyak dari pada perempuan Minang yang ada.
Apa saja permasalahan yang masih terjadi terkait dengan isu perempuan dalam setahun terakhir ini? Kenapa bisa terjadi?
Tentunya persoalan ketidakadilan menjadi titik kritis dari persoalan perempuan. Lihat saja data menunjukan bahwa perempuan hingga saat ini masih mengalami persoalan rendahnya tingkat pendidikan. Dari 75,69 persen perempuan usia 15 tahun ke atas hanya berpendidikan tamat SMP ke bawah, di mana mayoritas perempuan hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat SD, yakni sebanyak 30,70 persen. Semakin tinggi tingkat pendidikan, persentase partisipasi pendidikan perempuan semakin rendah, yaitu SMA (18,59 persen), Diploma (2,74 persen), dan Universitas (3,02 persen). Ada 5 juta perempuan yang masih belum melek huruf. Angka partisipasi sekolah perempuan memang sudah meningkat dibandingkan persentase angka partisipasi sekolah pria, tetapi itu hanya pada tingkat pendidikan rendah
Hal lain, bila kita lihat dari sekitar 6 jumlah tenaga kerja Indonesia yang menjadi buruh migrant 70 persennya adalah tenaga kerja perempuan (sekitar 4,2 juta jiwa) yang kehidupan mereka miskin dan banyak diantara mereka juga menjadi kepala keluarga. Kondisi ini mengakibatkan beban mereka semakin berat.
Belum lagi pengalaman perempuan yang buruk dalam kekerasan. Data menunjukan bahwa 1 dari 3 orang istri menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh pasangannya. Tidak sedikit pula perempuan yang menjadi korban keekrasan aparat. Hingga saat ini hak-hak mereka sebagai korban belum dapat terpenuhi. Hal ini dapat disebabkan karena masih buruknya layanan dalam pemulihan dan terbatasnya kebijakan untuk perlindungan korban.
Apa tindakan yang dilakukan oleh Nurani Perempuan dalam menanggapi isu-isu permasalahan perempuan yang sedang berkembang?
Nurani Perempuan Women Crisis Center (NPWCC) sebagai lembaga pengada layanan bagi perempuan korban kekerasan berupaya merespon kondisi perempuan yang masih terpuruk dalam berbagai masalah untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan seperti yang dicita-citakan ketika Negara ini diproklamirkan kemerdekaannya. Sebagai warga yang memiliki hak konstitusi, Nurani Perempuan mendorong pengambil kebijakan untuk merespon persoalan perempuan dengan membuat kebijakan yang lebih berpihak pada mereka. Dengan kebijakan yang ada diharapkan perempuan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk merencanakan kehidupan mereka.
Membangun kesadaran masyarakat tentang pola relasi / kuasa yang timpang yang telah mengakibatkan perempuan menjadi korban menjadi perhatian bagi NPWCC dalam melaksanakan berbagai aktivitasnya. Membantu masyarakat untuk menghapuskan stigma negative terhadap korban juga menjadi perhatian pernting.
Mendukung perempuan korban kekerasan dalam berjuang untuk mendapatkan pemulihan dan keadilan menjadi kerja harian NPWCC.
Sudah optimalkan peran stakeholder dalam mengatasi terkait permasalan isu-isu yang menyangkut perempuan?
Dengan melihat semakin banyak dan meluasnya persoalan perempuan, menunjukan peran dari berbagai stakeholder belum optimal. Memang yang terjadi hingga saat ini mengurusi perempuan, kita masih bekerja dipermukaannya saja. Belum bisa masuk hingga ke dalamnya. Ini dapat saja terjadi karena tidak sedikit stakeholder yang masih berpandangan bias gender terhadap apa yang dialami perempuan. Sikap yang acap menyalahkan korban menjadi salah satu penghalang untuk mengoptimalkan peran stakeholder. Tentunya masih terbatasnya kebijakan yang mendukung upaya-upaya yang dapat membantu perempuan bangkit menjadi tantangan berbagai stakeholder dalam bekerja.
Apakah perempuan selalu berada di posisi subordinat dalam permasalahan yang terkait isu perempuan? Mengapa?
Subordinasi merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang selalu menghantui perempuan. Posisi perempuan yang selalu diletakan setelah laki-laki seperti yang dinyatakan di atas telah menjadikan perempuan kehilangan haknya untuk berpartisipasi penuh dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya, terbatasnya akses perempuan dalam pengambilan keputusan baik di tingkat dirinya sendiri, keluarga, komunitas bahkan Negara.
Dalam momentum peringatan hari ibu ini, apakah ada pesan dan harapan kepada masyarakat, khususnya perempuan di Sumatera Barat?
Perempuan harus berdaya menjadi target terpenting dalam upaya menyejahterakan perempuan dan memberikan mereka rasa keadilan. Upaya memberdayakan masyarakat dilakukan dengan memberikan ruang yang seluasnya bagi mereka untuk meraih hak-hak mereka sesuai dengan apa yang telah dicantumkan dalam konstitus, sebagai seorang warga negara yang berjenis kelamin perempuan.
Karena itu, pemerintah harus menjamin agar perempuan mendapatkan hak-hak mereka tersebut. Misalnya saja hak perempuan untuk bebas dari ancaman, diskriminasi, kekerasan sdan hak untuk mendapatkan perlindungan serta hak untuk memperjuangkan hak mereka, seperti termuat dalam pasal 28 UUD 45. (*)
No Response to "Isu Perempuan, Sudah Tuntaskah?"
Posting Komentar