Judul Asli: Bersama Wujudkan Keadilan
Terbit: Haluan, 20 Februari 2014
Oleh: Ashabul Fadhli
Women’s
Crisis Center Nurani Perempuan Padang.
Keadian sosial merupakan prinsip dasar terwujudnya
pembangunan nasional yang diraih melalui penghargaan penuh terhadap hak dan
martabat manusia. Keadilan sejatinya memiliki pengaruh yang kuat dalam
menghasilkan kebaikan dan kebenaran atas suatu tindakan.
Tidak ada keadilan yang terpisah dari tuntutan kemanfaatan.
Begitu juga dengan tuntutan sosial. Hidup berdampingan secara adil dan damai.
Sikap toleransi dengan mengembangkan budi pekerti luhur yang mencerminkan
suasana kekeluargaan dan semangat gotong-royong. Sejalan dengan misi penting
yang ditorehkan oleh para founding father melalui rumusan dasar
Negara Indonesia. Sila kelima yang berisi tentang keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia adalah refleksi dan komitmen Negara untuk menjamin keadilan
sosial atas hak dan prinsip fundamental bagi setiap warga negaranya.
Berkenaan dengan itu, bertepatan pada tanggal 20 Februari,
diperingati sebagai hari keadilan sosial dunia atau disebut juga dengan hari
perlawanan terhadap kekerasan. Setiap tahunnya, resolusi ini dikumandangkan
sebagai upaya bersama agar setiap manusia dihargai dan punya hak penuh atas
diri. Meskipun ide ini tidak lahir dari rahim dan dialektika putra bangsa,
namun secara substansial ide dan semangatnya menunjukkan geliat yang sama
dengan persoalan bangsa dewasa ini.
Tingginya angka distabilitas sosial berupa penelantaran dan
perlakuan deskriminatif seakan memberikan pesan bahwa perlawanan terhadap
kekerasan menjadi sangat penting untuk dibicarakan. Lebih lagi, dalam
aspek penanganan persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), jaminan
perlindungan sosial bagi banyak korban kekerasan serta upaya pencegahan bagi
pelaku kekerasan cendrung terabaikan.
Lambatnya penanganan ke arah litigasi menyebabkan korban
merasa semakin tertekan dan mengalami goncangan. Penanganan yang bersifat
pendampingan secara non litigasi sedikitnya memberikan kekuatan psikologis
dalam membangun rasa percaya diri korban kekerasan. Karena itu, kesenjangan ini
idealnya mesti tidak semata dipandang sebagai pesoalan individual, tapi
diarahkan ke jenjang struktural. Pemecahannya juga dilakukan secara struktural
dengan menjalin kerja sama dalam memperkuat lembaga, institusi, ormas yang
berafiliasi pada akses perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Pelibatan laki-laki
Melihat tingginya angka kekerasan yang kebanyakan dilakukan
oleh laki-laki sebagai pelaku kekerasan dalam wilayah publik maupun domestik
(rumah tangga), tumbuh kesadaran bahwa, keikutsertaan laki-laki dalam
mengkampanyekan budaya nir-kekerasan adalah penting. Tujuan dari penerapan
keadilan sosial jelas tidak ditujukan untuk membentur pada persoalan suku dan
jenis kelamin. Asumsinya, peran laki-laki untuk menekan dan melakukan
perlawanan terhadap kekerasan akan sangat progresif.
Pelibatan laki-laki memiliki tujuan untuk mempercepat upaya
penghapusan KDRT. Dalam kacamata sosial hal ini dikenal dengan dimensi pedagois, yaitu
sebuah proses yang berupaya untuk melibatkan seseorang secara penuh dalam
rangka mengenali dan mengembangkan potensi diri berdasarkan nilai-nilai yang
dianut. Cara ini menghendaki tercapainya pribadi yang utuh dan terintegrasi
secara interpersonal.
Dalam budaya patriarkhi, laki-laki selalu disandingkan
dengan nilai-nilai dan konsep diri yang superior nan dominan. Dalam ranah
pekerjaan misalnya, pembagian tugas ekonomi-sosial antara laki-laki dan
perempuan ternyata turut mendatangkan persoalan. Laki-laki yang bekerja di luar
rumah (public) rupanya lebih dihargai ketimbang perempuan yang bekerja dirumah
(domestic), meski dengan beban pekerjaan yang berat dan tak ada habisnya.
Penyebabnya, laki-laki dinasabkan menguasai struktur sosial
dan budaya. Melalui garis keturunan, trah, kesukuan dan status sosial,
laki-laki didorong untuk membangun nilai dan norma yang mengatur yang kemudian
menghasilkan kesepakatan bersama tanpa pelibatan suara perempuan yang
berimbang. Akibatnya kondisi ini menghadirkan suasana baru berupa ketidak
adilan gender yang semakin kusut. Fenomena tersebut semakin menegaskan bahwa
kekerasan dalam relasi suami istri lebih banyak dialami oleh perempuan
tinimbang laki-laki. Walaupun dalam beberapa kasus ditemui laki-laki menjadi
korban, namun persentasinya sangat minim.
Di Negara maju seperti Australia dan Amerika Serikat,
konseling atau yang lazim disebut sebagai upaya membina atau mengarahkan sudah
banyak dikembangkan. Bahkan telah memasuki wilayah formal yang menjadi bagian
dalam lembaga peradilan. Berbeda dengan Indonesia, inisiasi untuk konseling
laki-laki (male counseling) pelaku kekerasan baru dilakukan oleh beberapa lembaga
pemerintahan saja. Saat ini sudah berada pada tahap adopsi dan pengembangan.
Melalui konseling, laki-laki diajak untuk mengenal diri,
membiasakan sharing dan memahami posisinya ketika berhadapan dengan
perempuan, terutama kepada pasangan. Dilakukannya konseling bukan sekedar untuk
perbaikan hubungan pada masa konflik atau pasca thalaq raj’i, namun lebih
kepada upaya perubahan prilaku bagi pelaku kekerasan. Hal ini senada dengan isi
UU-PKDRT pasal 40 tentang ketentuan pidana bagi pelaku KDRT yaitu hakim dapat
menjatuhkan pidana tambahan berupa: a) pembatasan gerak pelaku baik yang
bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu
dari pelaku; b) penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu”.
Dalam konteks ini, cara pandang laki-laki mulai diarahkan ke
hal yang lebih positif melalui pembelajaran berkomunikasi yang baik secara
sukarela (voluntary); Menjadi ayah yang dekat dengan anak dan suami yang penuh
cinta kasih dengan istri, serta kemampuan untuk melakukan komunikasi asertif
dan mengelola amarah.
Karena itu, bagi pelaku atau bukan, hal yang paling esensial
bagaimana menghadirkan situasi dan kondisi optimal untuk mencapai kehidupan
yang manusiawi. Dorongan berupa kesengajaan dan kesadaran/niat untuk beritikad
baik menjadi pintu keberaturan diri berdasarkan acuan nilai moral. Seseorang
yang memiliki keberaturan diri berdasarkan nilai agama, budaya, hukum dan
pandangan hidup (philosophy) yang baik akan bermakna bagi dirinya sendiri,
keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Dengan demikian, nilai-nilai tersebut
menuntun seseorang senantiasa mengindahkan hubungan dengan Tuhan, lingkungan
dan sesama manusia.
Bagaimanapun, pencapaian untuk menghapuskan kekerasan akan
terasa sumbang apabila intervensi hanya difokuskan pada perempuan semata.
Laki-laki perlu diajak dan dilibatkan secara kolektif dalam intervensi berbasis
gender; menangani, merubah sikap dan keyakinan mengenai ruang lingkup
kekerasan, tanpa menggeser hak dan prinsip fundamental yang melekat pada
pribadi masing-masing.
Mengutip dari apa yang dituliskan John Locke, tidaklah
secara absolout manusia menyerahkan hak-hak individunya, sebab yang diserahkan
hanyalah hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian Negara semata, sedangkan
sisanya haruslah tetap berada pada diri masing-masing individu. Sebaliknya,
jika masih merasa enggan, jelas bahwa keadilan hanya milik fatamorgana. (..)
No Response to "Peringati 20 Februari Sebagai Hari Perlawanan Terhadap Kekerasan"
Posting Komentar