Oleh : Ashabul Fadhli
Volunteer Women’s Crisis Center
Nurani Perempuan
Kebijakan affirmative action seyogyanya dapat dijadikan
sebagai pintu pandora bagi politikus perempuan menjelang April 2014 nanti.
Kiprah perempuan secara kualitas dan kuantitas sangat menentukan terwujudnya
kebijakan-kebijakan yang sensitif terhadap hak-hak perempuan. Peluang ini
tentu harus disikapi secara serius, melihat keterlibatan dan partisipasi
perempuan di kancah politik masih tergolong minim.
Lahirnya kebijakan yang menodorong
keterwakilan perempuan pada dasarnya merupakan titik balik atas menguatnya
praktik deskriminasi dan marginalisasi. Landasan dan upaya ini awalnya
dimunculkan oleh Presiden Amerika Serikat, Lyndon B. Johnson tahun 1965.
Menurutnya, ide ini lahir sebagai jawaban atas kegelisahan terhadap pelakuan
deskriminatif yang selalu diterima kelompok minoritas di sektor publik.
Sebagai solusi, Johnson menawarkan ide affirmative action dengan mengharuskan para
pemilik modal (kontraktor) untuk melakukan management ulang
terhadap perusahaan yang di jalankannya. Keterpaduan antara tujuan dan
pembagian kerja yang sama pun dilakukan. Tujuannya adalah untuk mencapai
pemerataan dan peluang yang sama (Equal
Employment Opportunity), tanpa melihat perbedaan ras, warna kulit,
agama dan jenis kelamin. (Imam Feisal Abdul Rauf, 2007)
Dalam kacamata politik, affirmative action kemudian lebih
dikenal sebagai pemberian kuota. Di Indonesia, pemerintah melalui regulasi yang
dirumuskan dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
telah mengatur tentang itu. Dalam pasal 53 disebutkan, “Daftar bakal calon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan”.
Pasal di atas secara implisit menghendaki
agar setiap seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota harus melibatkan perempuan dalam kepemimpinan. Usaha
ekstra sangat menentukan tercapainya 30% keterwakilan perempuan di parlemen.
Teknisnya kemudian dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan
mekanisme internal partai politik. Regulasi ini sekaligus menjadi inisiasi
bagi setiap partai politik agar lebih serius melakukan kaderisasi secara
sistematis dan berkelanjutan.
Menentukan Arah Baru
Pasca tumbangnya rezim orde baru pada tahun
1998, sekaligus mengawali progres keterwakilan perempuan di kancah politik
Indonesia. Ada sejarah penting yang mewarnai peta politik era itu. Demokrasi
mendorong terjadinya perombakan hingga perubahan total dalam sistem
politik dan strukstur negara. Peristiwa tersebut ternyata berdampak lansung
pada kesempatan perempuan untuk mengisi jabatan di pemerintahan.
Sejauh ini, terlihat bahwa pencapaian yang
dilakukan politikus perempuan dalam meangadvokasi kebijakan yang ramah
terhadap perempuan sangat terbilang positif. Lebih lagi, representasi
perempuan di dalam politik tahun 2009 mengalami peningkatan yang cukup
signifikan. Tercatat 103 calon anggota legislatif perempuan terpilih untuk DPR
RI (18%). Sebanyak 321 di 33 DPRD Provinsi (16%). Sementara 1.857 perempuan
terpilih sebagai anggota DPRD (12%) di 458 kabupaten/kota. Indonesia juga
telah mencapai kesetaraan gender dalam setiap tingkat pendidikan (The World Bank Report, 2012).
Secara umum, juga terlihat bahwa seluruh sektor pemerintahan dan juga
program pembangunan telah familiar dengan menerapkan prinsip kesetaraan
gender dan upaya-upaya pemberdayaan perempuan.
Dalam rencana pembangunan jangka menengah
(RPJM) tahun 2004-2009 saja, terdapat 38 program responsive gender, meningkat dari 19 program dalam
RPJM 2000-2004. RPJM 2010-2014 juga mempertegas upaya pemerintah dalam pengarusutamaan
gender dengan menekankan lebih lanjut pada perbaikan kualitas hidup serta
evaluasi kebijakan, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Prestasi lain yang lebih menggembirakan
adalah, terdapat beberapa Undang-Undang (UU) yang lahir dari desakan terhadap
kebutuhan perempuan, diantaranya seperti UU No. 52/2009 tentang Pertumbuhan
Penduduk dan Pembangunan Keluarga, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan kekerasan
Dalam Rumah Tangga, UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, UU No.
2/2008 tentang Partai Politik, UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum dan UU.
No. 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan orang (Puskapol, 2011).
Meskipun begitu, sederatan persoalan yang
mempengaruhi terpilihnya perempuan sebagai calon anggota legislatif tetap saja
bermunculan.
Menurut hasil riset Puskapol UI, realitas
yang ada menunjukkan bahwa di kalangan elite partai politik masih resisten
terhadap kebijakan affirmative.
Di tingkat lokal saja misalnya, dengan alasan yang sama banyak didapati partai
politik enggan melakukan kaderarisasi untuk perempuan. Belum lagi performa
perempuan di legislative secara umum dinilai belum memuaskan. Di satu sisi,
perempuan dihadapkan dengan kendala internal ketika memutuskan untuk
berpolitik, ditambah dengan faktor eksternal yang melilit perempuan untuk dapat
terpilih dan diterima sebagai pemimpin.
Keadaan di atas menggambarkan situasi yang
begitu paradoks. Politik elektoral sangat sulit untuk dihindarkan. Bagaimanapun,
partai plitik sebenarnya tetap berada pada tataran yang srtrategis, hanya saja
keberpihakan partai pengusung terhadap isu-isu diskriminatif dan marginalitas
dimana perempuan berada pada kondisi keterpurukan sangat sulit untuk
dihadirkan.
Akibatnya, peraturan-peraturan deskriminatif
meningkat subur. Nilai tawar perempuan dalam meratifikasi kebijakan-kebijakan
melemah dan cendrung terabaikan. Maka tak heran ketika kasus yang
mendiskreditkan perempuan terus bermunculan, seperti nikah di bawah tangan
(nikah siri), pelecehan seksual, pemerkosaan, perdagangan orang serta
kasus-kasus kekerasan serupa belakangan kerap kali dipertontonkan.
Dinamika di atas menjebak gerakan perempuan
pada pusaran elektabilitas partai. Pada tataran ini, perempuan akan sulit
mengaktualisasikan dirinya sebagai perwakilan partai. Agenda partai yang jauh
lebih dominan hanya akan mengikis suara perempuan dalam mengakomodir sebuah
kebijakan baru.
Untuk itu, selaku elite partai politik agar
senantiasa mendorong kepemimpinan politik perempuan. Agendanya adalah mendorong
terpenuhinya kuota yang telah disediakan. Memfasilitasi pendidikan politik bagi
perempuan. Diperkuat dengan penyusunan agenda bersama untuk menghapuskan ketimpangan
relasi kuasa yang selama ini kerap menjadi akar persoalan. (..)
Fadhli (ed.)
No Response to "Mengawal Keterwakilan Perempuan di Parlemen"
Posting Komentar