Dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang jatuh
pada tanggal 25 November s/d 10 Desember, Komnas Perempuan meminta Pemerintah
Daerah Provinsi Sumatera Barat untuk kembali meneguhkan komitmennya terhadap
pemenuhan hak-hak konstitusional perempuan korban kekerasan atas kebenaran,
keadilan dan pemulihan. Peneguhan komitmen ini dapat diwujudkan tidak hanya
melalui ketersediaan anggaran yang cukup serta pemberian layanan yang
optimal bagi perempuan korban kekerasan tetapi juga dengan cara menghilangkan
budaya menyalahkan perempuan yang menjadi korban kekerasan. Pemberian layanan
yang optimal tidak terbatas pada layanan konseling dan bantuan hukum tetapi
juga mencakup rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi perempuan korban
kekerasan sebagaimana tercantum dalam Standar Pelayanan Minimum (SPM) Bidang
Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Koban Kekerasan yang telah dikeluarkan
oleh Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak tahun 2010.
Belum optimalnya pelayanan dan
penanganan bagi perempuan korban kekerasan di wilayah Sumatera Barat menjadi
suatu bentuk keprihatinan Komnas Perempuan. Pada Catatan tahunan 2011 yang
dibuat oleh Komnas Perempuan, dari 119.107 kasus kekerasan yang ditangani oleh
lembaga pengada layanan di Indonesia, sebanyak 4.982 kasus terjadi di
wilayah Sumatera Barat. Seperti juga di tingkat nasional, kasus kekerasan
kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak terjadi di wilayah Sumatera
Barat adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dari angka 4.982 kasus
kekerasan terhadap perempuan, kasus kekerasan di ranah personal (KDRT) mencapai
angka 4.874 kasus, kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas mencapai 63
kasus dan di ranah negara sebanyak 24 kasus. Terkait dengan jenis kasus
kekerasan seksual yang seringkali terjadi di wilayah Sumbar adalah pencabulan
10 kasus, perkosaan 45 kasus, dan pelecahan seksual 11 kasus.
Selain persoalan tentang layanan
dan penanganan bagi perempuan korban kekerasan, Komnas Perempuan juga menyoroti
tentang adanya berbagai kasus pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama
dan beribadah serta banyaknya kebijakan daerah yang diskriminatif di wilayah
Sumatera Barat. Sampai dengan Agustus 2012 ini, di
Provinsi Sumatera Barat terdapat sebanyak 33 kebijakan diskriminatif yang
tersebar di 15 Kabupaten/Kota, diantaranya adalah : Kabupaten Agam (2
kebijakan), Kabupaten & Kota Bukit Tinggi (masing-masing 1 kebijakan),
Kabupaten Lahat (1 kebijakan), Kabupaten Limapuluh Kota (4 kebijakan), Kota
Padang (2 kebijakan), Kabupaten Padang Panjang (2 kebijakan), Kabupaten Padang
Pariaman (1 kebijakan), Kabupaten Pasaman (2 kebijakan), Kabupaten Pesisir
Selatan (4 kebijakan), Kabupaten Sawah Lunto (3 kebijakan), Kota Sawah Lunto (1
kebijakan), Kabupaten Solok (2 kebijakan), Kota Solok (1 kebijakan), Kabupaten
Tanah Datar (1 kebijakan) dan Provinsi Sumatera Barat (5 kebijakan). Namun
demikian, Di Provinsi Sumatera Barat terdapat 4
kebijakan kondusif terkait layanan perempuan korban kekerasan. Ke-4 kebijakan
tersebut terdapat di Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Limapuluh
Kota dan Kota Payakumbuh.
Kebijakan diskriminatif ini
menjadi halangan bagi perempuan untuk menikmati hak-hak konstitusionalnya.
Beberapa hak konstitusional perempuan yang dibatasi atau dikurangi oleh kebijakan-kebijakan
merupakan hak-hak konstitusional yang dijamin bagi setiap warga negara
Indonesia tanpa kecuali, terutama hak atas (a) kedudukan yang sama dalam hukum
dan pemerintahan, (b) hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap
sesuai dengan hati nurani, (c) hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi dan (d) bebas dari perlakuan
diskriminatif, dan (e) kepastian hukum.
Sebanyak 10 dari 33 kebijakan
diskriminatif yang ada di wilayah Sumatera Barat secara langsung telah
mendiskriminasikan tubuh perempuan melalui aturan berbusana. Selain itu terdapat juga 7
kebijakan yang kriminalisasi perempuan melalui kebijakan larangan prostitusi, 1
Kebijakan terkait pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama dan 15
kebijakan lain terkait pencitraan daerah melalui 8 kebijakan tentang baca tulis
alquran, 4 aturan tentang zakat dan 3 kebijakan tentang ketertiban umum dan
penutupan tempat hiburan. Komnas Perempuan menilai, segenap pemaksaaan,
pembatasan dan pembedaan yang hadir akibat kebijakan diskriminatif itu selain
mengurangi jaminan rasa aman bagi perempuan juga mengeroposi sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Aturan-aturan dalam kebijakan
diskriminatif telah menggerogoti jaminan atas
kepastian hukum, melembagakan diskriminasi ke dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan hukum, serta mengerdilkan kebhinnekaan bangsa Indonesia.
Menyikapi persoalan tersebut
diatas, Komnas Perempuan meminta :
1.
Mendorong Pemerintah
Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk segera
memfasilitasi terbentuknya lembaga layanan bagi perempuan yang menjadi korban
kekerasan.
2.
Mengingatkan
lembaga legislatif, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk
sungguh-sungguh menjalankan mandat konstitusi untuk menerbitkan lebih banyak
kebijakan daerah yang konduisf bagi pemenuhan hak-hak konstitusional perempuan.
3.
Mendorong
masyarakat sipil untuk selalu berpartisipasi dan bersikap kritis terhadap setiap
kebijakan daerah yang diterbitkan serta memulai langkah awal untuk pencegahan
dan penanganan kasus-kasus KtP berangkat dari kominitasnya masing-masing.
4.
Mengajak
berbagai tokoh agama, tokoh adat maupun tokoh masyarakat lainnya untuk berperan
aktif didalam upaya mencegah dan penanganan kasus-kasus KtP yang berpihak pada
korban.
5.
Mengajak para
media local untuk selalu memiliki sensitifitas dan keberpihakan kepada korban
didalam memberitakan kasus-kasus KtP.
6.
Mengajak
seluruh elemen masyarakat untuk selalu menghargai perbedaan dan tetap menjaga
kerukunan dan kebhinekaan Indonesia.
No Response to "Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Perempuan "
Posting Komentar