Selasa, 30 April 2013

Pekerja Rumah Tangga: Dibutuhkan Namun Diabaikan Refleksi Hari Buruh Internasional 2013

Categories:

Yefri Heriani
Aktif di Nurani Perempuan WCC
Padang, 1 Mei 2013


Di Sumatera Barat, khususnya ranah Minang, kata Pekerja Rumah Tangga (PRT) mulai sering didengar pada awal tahun 2000. Dikenalnya PRT disebabkan adanya kebutuhan keluarga muda akan orang yang dapat menggantika peran dalam melakukan pekerjaan domestik. Kondisi ini disebabkan banyak pasangan keluarga muda harus bekerja di luar rumah. Maka perempuan muda dari Pasaman, Sitiung serta dari wilayah provinsi tetangga seperti Sumatera Utara, dipekerjakan. Mereka dating baik secara perseorangan atau diorganisir oleh agen penyalur PRT. Saat itu, kata pembantu masih kental menjadi sebutannya. Sebelumnya, kata PRT atau pembantu hampir tidak terdengar di Minangkabau. Karena setiap orang yang tinggal bersama dalam keluarga, baik mereka memiliki hubungan darah ataupun tidak diperkenalkan sebagai dunsanak. Sebagai orang yang menumpang tinggal atau dibawa tinggal bersama, mesti siap membantu apapun di rumah tangga tersebut.

PRT merupakan salah satu pekerjaan sektor informal yang sebagian besar pekerjanya adalah perempuan. Modal mereka adalah keterampilan dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik; membersihkan rumah, mencuci, menyetrika atau memasak. Mereka juga dapat diharapkan untuk mengasuh anak.  Pekerjaan sebagai PRT dipilih karena mereka tidak memiliki pendidikan formal yang cukup. Barangkali karena inilah mengapa banyak PRT yang menerima upah karena belas kasihan saja, tidak ada standar yang jelas. Padahal sangat disadari bahwa PRT memiliki peran yang sangat penting dalam kelangsungan keluarga. Jumlah PRT menurut data ada sekitar 10.744.887 orang, karena 67% dari keluarga kelas menengah dan menengah atas di Indonesia mempekerjakan PRT. Secara khusus data PRT di Sumatera Barat hingga tulisan ini dibuat belum ditemukan.

PRT dalam menjalankan peran pentingnya dalam keluarga juga banyak yang mengalami berbagai tindakan eksploitatif dan kekerasan. Menurut catatan Nurani Perempuan Women’s Crisis Center, sekurangnya ada 6 kasus yang dilaporkan dari Desember 2011 – Desember 2012 terkait dengan tidak dibayarkannya upah, upah yang sangat minim, jam kerja yang terlalu panjang (dari pukul 5 subuh hingga tengah malam), tanpa ada hari libur dan perlakuan yang tidak baik dialami oleh Pekerja Rumah Rangga (PRT). Dalam tahun 2010, dua orang PRT (satu diantaranya masih berusia 15 tahun) melaporkan bahwa dia mengalami kekerasan fisik yang pelakunya adalah majikannya. Sementara satu kasus lainnya masih di tahun 2010 mengungkapkan bahwa korban direkrut sebagai pekerja sebuah toko, tapi ia pun harus melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan rumah pagi dan sore, mengurusi anak boss (mengantar dan menjemput ke sekolah). Gaji yang diterima untuk melakukan pekerjaan tersebut  di bawah upah minimal regional (UMR), hanya 450 ribu rupiah dengan membawa makan siang dibawa dari rumah atau dibeli sendiri.

Kasus PRT terkait dengan hubungan pekerja dengan  majikan hingga saat ini tidak banyak dilaporkan. Posisi mereka di mata masyarakat pun hingga ini masih abu-abu, mereka bekerja namun belum dianggap sebagai pekerja. Mereka mendapatkan upah, namun hampir tak ada standarisasi upah bagi mereka. Mereka bekerja tanpa jaminan sosial apapun yang diberikan oleh majikannya.

Mengapa? tentu ada beberapa alasan. Alasan utama yang biasa ditemukan adalah ketidakberdayaan PRT dalam banyak faktor. Faktor pendidikan, ketergantungan PRT akan pekerjaannya dan upah yang diharapkan, terbatasnya pengetahuan tentang hak-hak sebagai seorang pekerja. Masyarakat dan PRT sendiri masih memandang rendah pekerjaan sebagai PRT, bahkan hingga saat ini masyarakat pemanfaat jasa PRT masih menganggap penghasilan yang didapatkan dari pekerjaan belum menjadi sumber penghasilan utama pada banyak keluarga PRT. Padahal hampir sepertiga perempuan kepala keluarga berprofesi sebagai PRT.
Dalam memperingati hari buruh internasional setiap tanggal 1 Mai, sering kita lupa bahwa PRT juga buruh yang bekerja kebetulan mereka bekerja di ranah privat, rumah tangga. PRT jelas harus mendapatkan perlindungan negara karana pekerjaan yang dilakukannya. Pekerjaan PRT sangat berkontribusi besar pada negara. Karenanya, pada hari buruh internasional ini, kita perlu memberikan ruang yang cukup untuk menempatkan PRT pada posisi pekerja/buruh yang bermartabat.

Sebagai pemanfaat atau bagian masyarakat yang menyadari betapa pentingnya campur tangan PRT dalam merawat keberlangsungan keluarga kita layak mendorong pemerintah untuk memberikan jaminan perlindungan atas pekerjaan yang mereka lakukan melalui regulasi yang melindungi pekerja yang bekerja di ranah domestik. Mendorong setiap masyarakat/majikan pemanfaat jasa langsung PRT untuk memberikan hak-hak pekerja mereka, tidak melakukan berbagai tindak eksploitasi dan kekerasan kepada mereka. sesegera mungkin menjelang adanya regulasi yang didesakan kepada pemerintah.
Khusus untuk Sumatera Barat, pemerintah harus segera menyediakan data yang jelas tentang keberadaan PRT. Mendorong berbagai lembaga pemerintah terkait, LSM dan organisasi masyarakat untuk melakukan pengorganisasi pada mereka. Dorong PRT di Sumatera Barat untuk bersuara untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Kebebasan berorganisasi dan bersuara merupakan hak PRT juga sebagai warga negara.

Media sangat diharapkan dapat membantu percepatan peningkatan pemahaman masyarakat, pemerintah dan sector lainnya tentang posisi PRT di negara republic Indonesia ini. Jangan sampai PRT mengalami pengabaian yang berkepanjangan. (..)

ed. Fadhli

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

No Response to "Pekerja Rumah Tangga: Dibutuhkan Namun Diabaikan Refleksi Hari Buruh Internasional 2013"

Posting Komentar