Kamis, 30 Mei 2013

Penuhi Hak-hak Konstitusioal Anak Korban Kekerasan

Categories:



Oleh : Yefri Heriani
Aktif di Nurani Perempuan Women’s Crisis Center

Dimuat di Harian Padang Ekspres
Jumat, 10/05/2013

Kekerasan terhadap anak ter­jadi diberbagai tempat, baik itu di ranah domestik (rumah) maupun  di ranah publik (tempat/fasilitas umum seperti pasar, ruang bermain termasuk sekolah). Berbagai jenis dan bentuk kekerasan ditemukan. Pertama, kekerasan fisik ditemukan dalam bentuk pemukulan anak, menempeleng, melempar dengan benda keras, menendang, menjambak dan lainnya. Kedua, kekerasan psiko­logis/mental/psikis dalam bentuk me­nga­ta-ngatai anak dengan perkataan kasar, hinaan, makian, umpatan, hujatan, menghakimi, perlakuan diskriminatif,  dan lainnya. Ketiga, penelantaran anak secara ekonomi dengan mengeksploitasi mereka untuk mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan orang dewasa, tidak memberikan biaya dengan berbagai alasan. Keempat, kekerasan seksual yang terjadi dalam bentuk perkosaan/pencabulan, pelecehan sek­sual, perdagangan anak dengan tujuan seksual, dan lainnya.

Berbagai bentuk kekerasan ini telah berdampak pada anak. Beberapa dampak yang sering kerusakan secara fisik baik dalam bentuk luka dan kecacatan seumur hidup bahkan kematian, hilangnya rasa harga diri anak, trauma, kehamilan yang tak diinginkan, aborsi, penyakit menular seksual serta penolakan untuk men­dapatkan pendidikan dibangku sekolah. Beberapa waktu terakhir ini kasus kekerasan/kejahatan seksual banyak dilaporkan dan terjadi pada anak yang hampir 93% diantaranya adalah pelajar.

Kekerasan Seksual pada Anak (Pelajar) Perempuan

Laporan kasus kekerasan terhadap anak dari waktu ke waktu mengalami peningkatan. Berbagai pemberitaan media lokal maupun data yang ditunjukan oleh beberapa lembaga pemerintahan dan lembaga swadaya masyarakat me­mas­tikan bahwa berbagai bentuk keke­rasan terhadap anak terjadi dan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Anak mendapatkan berbagai jenis kekerasan, baik fisik, psikologis, ekonomi dan seksual. Kasus kekerasan yang saat ini menjadi per­hatian dan sorotan banyak pihak adalah keke­rasan seksual yang terjadi pada anak. Untuk data kekerasan seksual Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Polres Padang mencatat pada tahun 2011 ada 18 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak. Sementara hingga November 2012 data yang tercata di lembaga ini sebanyak 26 kasus. Se­mentara Kepala Dinas Kesehatan Ka­bupaten 50 Kota mengungkapkan ada 117 kasus keha­milan di luar nikah sepanjang tahun 2012. Dua diantaranya janda, yang lainnya terdiri dari maha­siswa, pelajar SMP dan SMA (Padang Ekspres, 27 Maret 2013). Data dan kasus yang terungkap ini ibarat fenomena gunung es, terungkap di satu ka­bupaten dalam jumlah tertentu, namun be­sar kemung­kinan kita terdapat kasus lain yang belum dilaporkan di kabupaten tersebut. Tentunya data dan kasus dapat juga ditemukan di kabupaten-kabupaten lain.

Dalam berbagai kasus kekerasan seksual pada anak, anak yang menjadi korban sering disalahkan, dilekatkan berbagai label negative oleh orang di sekitar mereka. Kondisi ini disebabkan karena masyarakat cendrung melihat bahwa kasus ini terjadi karena korban sebagai pemicu atau pemancingnya. Akibatnya, tidak sedikit anak perempuan korban kekerasan seksual yang harus kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan karena hak tersebut direnggut dan dihilangkan oleh kekuasaan yang tentunya tak dimiliki oleh anak. Kasus kota Padang dua siswi SMP terjaring oleh Pol PP Padang yang disinyalir sebagai wanita panggilan, membuat Wali Kota Padang Fauzi Bahar menegaskan Dinas Pendidikan Padang memberhentikan dan tidak mengizinkan lagi siswi SMP tersebut bersekolah di Padang. (Padek, 23 Maret 2013). Sementara di Kota Paya­kumbuh seorang kepala sekolah SMP tidak menerima siswi yang menjadi korban pencabulan laki-laki dewasa (kasus dilaporkan oleh Nurani Perem­puan WCC), di Pariaman siswi korban pelecehan seksual juga dikeluarkan dari sekolah (kasus dilaporkan LBH Padang), di Padang panjang siswi korban kejahatan seksual diberhentikan dan tidak diberi kesempatan untuk bersekolah di Pa­dangpanjang. Sekali lagi, tentunya masih ada kasus-kasus yang mirip terjadi di tempat lainnya, yang belum atau tidak terlaporkan. Untuk kasus di Payakumbuh dan Pariaman, pelajar tidak dapat me­ngikuti ujian akhir pada tahun ini.

Masyarakat luas, terutama orang dewasa banyak yang lupa dan tidak melihat  bagaimana struktur sosial memposisikan anak, terutama anak perempuan dalam keluarga, masyarakat juga negara. Anak perempuan dalam struktur sosial posisinya bukanlah sebagai penentu. Dalam pola relasi di tengah hubungan personal, anak perempuan tidak memiliki relasi kuasa yang setara dengan laki-laki (baik pacar, ayah, saudara laki-laki, kenalan, guru, paman, ustadz, dan seterusnya). Anak perem­puan menjadi subordinat, bukan su­perordinat. Dengan posisi sebagai sub­or­dinat anak perempuan disadari atau tidak ditempatkan sebagai objek (korban struktur sosial). Sehingga adalah tindakan yang tidak benar (kejahatan) jika mereka diberikan hukuman yang mengakibatkan tercabutnya hak-hak dasar (hak-hak konstitusional) mereka untuk men­dapatkan pendidikan. Tindakan yang berakibat pada viktimisasi pelajar korban kejahatan seksual perlu segera dihen­tikan.

Pemenuhan Hak-hak Anak (Pelajar) Korban Kekerasan Seksual

Diperlukan satu cara pandang yang dapat melihat lebih dalam dan kom­prehensif terhadap isu kekerasan seksual yang terjadi pada anak di bangku pen­didikan sehingga orang dewasa (orang tua, wali ataupun guru serta pemerintah sebagai pengambil kebijakan) bisa memberikan dukungan dan melindungi mereka. Adalah tanggungjawab orang dewasa untuk menjamin pemenuhan hak-hak anak dalam kondisi apa pun.

Pemenuhan hak-hak konstitusi anak tentu untuk keperntingan terbaik anak sebagai pertimbangan dalam semua tindakan yang menyangkut anak (pasal 3, KHA). Konvensi Hak Anak (KHA) telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1996. Hak-hak anak menurut KHA dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu : (1). Hak Kelangsungan Hidup, hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak mem­peroleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. (2). Hak Perlindungan, perlindungan dari dis­kriminasi, eksploitasi, kekerasan dan keterlantaran. (3). Hak Tumbuh Kem­bang, hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. (4). Hak Ber­partisipasi, hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mem­pengaruhi anak. KHA lebih dikuatkan dengan adanya UU-Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002. 

Dalam Undang-undang ini, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. (Pasal 1, ayat 1). Pasal 13 dalam undang-undang ini menegaskan bahwa: (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;  c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan  penganiayaan;  e. ketidakadilan;  dan

f. perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat  (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Tanggungjawab Pemerintah

Diperlukan tindakan segera agar tidak terjadi pembiaran atas viktimisasi pelajar korban kejahatan seksual. Pemerintah harus mengambil tanggungjawab atas berbagai tindakan yang tidak adil, des­kriminatif yang dialami oleh anak (pe­lajar) korban kekerasan (kejahatan) seksual yang dilakukan oleh kepala sekolah atau pejabat negara lainnya. Tindakan mencabut hak anak untuk mendapatkan pendidikan secara se­wenang-wenang jelas bertentangan dengan KHA, UU-Perlindungan Anak dan tentunya dengan konstitusi Negara Indonesia – UUD 1945. Karena itu perlu tindakan tegas atas kesewenang-wena­ngan yang terjadi. (..)

ed. Fadhli

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

No Response to "Penuhi Hak-hak Konstitusioal Anak Korban Kekerasan"

Posting Komentar