Jumat, 29 Maret 2013

Mengawal Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Categories: ,



Oleh : Ashabul Fadhli
Volunteer Women’s Crisis Center Nurani Perempuan

Kebijakan affirmative action seyogyanya dapat dijadikan sebagai pintu pandora bagi politikus perem­puan menjelang April 2014 nanti. Kiprah perempuan secara kualitas dan kuantitas sangat menentukan terwu­jud­nya kebijakan-kebijakan yang sen­sitif terhadap hak-hak perempuan. Peluang ini tentu harus disikapi secara serius, melihat keterlibatan dan parti­sipasi perempuan di kancah politik masih tergolong minim.

Lahirnya kebijakan yang menodo­rong keterwakilan perempuan pada dasarnya merupakan titik balik atas menguatnya praktik deskriminasi dan marginalisasi. Landasan dan upaya ini awalnya dimunculkan oleh Presiden Ame­rika Serikat, Lyndon B. Johnson tahun 1965. Menurutnya, ide ini lahir sebagai jawaban atas kegelisahan terhadap pelakuan deskriminatif yang selalu diterima kelompok minoritas di sektor publik.

Sebagai solusi, Johnson menawar­kan ide affirmative action dengan mengharuskan para pemilik modal (kontraktor) untuk melakukan management ulang terhadap perusahaan yang di jalankannya. Keterpaduan antara tujuan dan pembagian kerja yang sama pun dilakukan. Tujuannya adalah untuk mencapai pemerataan dan peluang yang sama (Equal Employment Opportunity), tanpa melihat perbedaan ras, warna kulit, agama dan jenis kelamin. (Imam Feisal Abdul Rauf, 2007)

Dalam kacamata politik, affirmative action kemudian lebih dikenal sebagai pemberian kuota. Di Indonesia, pemerintah melalui regulasi yang dirumuskan dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilih­an Umum telah mengatur tentang itu. Dalam pasal 53 disebutkan, “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keter­wakilan perempuan”.

Pasal di atas secara implisit meng­hen­daki agar setiap seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus melibat­kan perempuan dalam kepemimpinan.  Usaha ekstra sangat menentukan tercapainya 30% keterwakilan perem­puan di parlemen. Teknisnya kemu­dian dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik. Regulasi ini se­kaligus menjadi inisiasi bagi setiap partai politik agar lebih serius mela­kukan kaderisasi secara sistematis dan berkelanjutan.

Menentukan Arah Baru

Pasca tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998, sekaligus mengawali progres keterwakilan perempuan di kancah politik Indonesia. Ada sejarah penting yang mewarnai peta politik era itu. Demokrasi mendorong terjadinya perombakan hingga perubahan total  dalam sistem politik dan strukstur negara. Peristiwa tersebut  ternyata berdampak lansung pada kesempatan perempuan untuk mengisi jabatan di pemerintahan.

Sejauh ini, terlihat bahwa penca­paian yang dilakukan politikus perem­puan dalam meangadvokasi kebijakan yang ramah terhadap perempuan sa­ngat terbilang positif. Lebih lagi, rep­resentasi perempuan di dalam politik tahun 2009 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Tercatat 103 calon anggota legislatif perempuan terpilih untuk DPR RI (18%). Sebanyak 321 di 33 DPRD Provinsi (16%). Semen­tara 1.857 perempuan terpilih sebagai anggota DPRD (12%) di 458 kabupa­ten/kota. Indonesia juga telah menca­pai kesetaraan gender dalam setiap tingkat pendidikan (The World Bank Report, 2012). Secara umum,  juga terlihat bahwa seluruh sektor peme­rintahan dan juga program pem­bangun­an telah familiar dengan mene­rap­kan prinsip kesetaraan gender dan upaya-upaya pemberdayaan perem­puan.

Dalam rencana pembangunan jang­ka menengah (RPJM) tahun 2004-2009 saja, terdapat 38 program responsive gender, meningkat dari 19 program dalam RPJM 2000-2004. RPJM 2010-2014 juga mempertegas upaya pemerintah dalam pengaru­sutamaan gender dengan menekankan lebih lanjut pada perbaikan kualitas hidup serta evaluasi kebijakan, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Prestasi lain yang lebih menggem­birakan adalah, terdapat beberapa Undang-Undang (UU) yang lahir dari desakan terhadap kebutuhan perem­pu­an, diantaranya seperti UU No. 52/2009 tentang Pertumbuhan Penduduk dan Pembangunan Keluarga, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan kekera­san Dalam Rumah Tangga, UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kepen­dudukan, UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum dan UU. No. 21/2007 tentang Tindak Pidana Perda­gang­an orang (Puskapol, 2011).

Meskipun begitu, sederatan per­soal­an yang mempengaruhi terpilihnya perempuan sebagai calon anggota legislatif tetap saja bermunculan.

Menurut hasil riset Puskapol UI, realitas yang ada menunjukkan bahwa di kalangan elite partai politik masih resisten terhadap kebijakan affirmative. Di tingkat lokal saja misalnya, dengan alasan yang sama banyak didapati partai politik enggan melaku­kan kaderarisasi untuk perempuan. Belum lagi performa perempuan di legislative secara umum dinilai belum memuaskan. Di satu sisi, perempuan dihadapkan dengan kendala internal ketika memutuskan untuk berpolitik, ditambah dengan faktor eksternal yang melilit perempuan untuk dapat terpilih dan diterima sebagai pemimpin.

Keadaan di atas menggambarkan situasi yang begitu paradoks. Politik elektoral sangat sulit untuk dihindar­kan. Bagaimanapun, partai plitik sebenarnya tetap berada pada tataran yang srtrategis, hanya saja keberpi­hakan partai pengusung terhadap isu-isu diskriminatif dan marginalitas dimana perempuan berada pada kon­disi keterpurukan sangat sulit untuk dihadirkan.

Akibatnya, peraturan-peraturan deskriminatif meningkat subur. Nilai tawar perempuan dalam meratifikasi kebijakan-kebijakan melemah dan cendrung terabaikan. Maka tak heran ketika kasus yang mendiskreditkan perempuan terus bermunculan, seperti nikah di bawah tangan (nikah siri), pelecehan seksual, pemerkosaan, perdagangan orang serta kasus-kasus kekerasan serupa belakangan kerap kali dipertontonkan.

Dinamika di atas menjebak gerakan perempuan pada pusaran elektabilitas partai. Pada tataran ini, perempuan akan sulit mengaktualisasikan dirinya sebagai perwakilan partai. Agenda partai yang jauh lebih dominan hanya akan mengikis suara perempuan dalam mengakomodir sebuah kebijakan baru.

Untuk itu, selaku elite partai politik agar senantiasa mendorong kepemim­pinan politik perempuan. Agendanya adalah mendorong terpenuhinya kuota yang telah disediakan. Memfasilitasi pendidikan politik bagi perempuan. Diperkuat dengan penyusunan agenda bersama untuk menghapuskan ketim­pang­an relasi kuasa yang selama ini kerap menjadi akar persoalan. (..)

Fadhli (ed.)

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

No Response to "Mengawal Keterwakilan Perempuan di Parlemen"

Posting Komentar