Jumat, 19 April 2013

Selamatkan Hak Pendidikan Anak

Categories: , ,

Rilis kegiatan Hari Kartini

Sekolah Alam-Padang, 21 April 2013
WCC Nurani Perempuan

Apa kabar Sumatera Barat.
Apa kabar Indonesia.
Apa kabar perempuan Indonesia.

Siapa yang tidak mengenal Kartini? Sosok perempuan progresif yang selalu terkukung oleh lingkaran sosial yang bernama feodalisme. Nilai-nilai yang melekat dari trah sosialnya (baca: adat) ternyata tidak menempatkan Kartini pada posisi yang kokoh sebagai perempuan. Tidak hanya Kartini, kaum perempuan kala itu tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya. Potret Kartini yang terlahir dari keluarga priyayi yang makmur dan berpendidikan tinggi, rupanya tidak menjadi alasan bahwa setiap hak-haknya sebagai perempuan akan terpenuhi sebagaimana laki-laki di lingkungannya.

Meski demikian, ide dan semangat Kartini jauh lebih besar melebihi persoalan di depan matanya. Satu persatu ide dan gagasannya lahir. Saat itu, kebanyakan gagasan Kartini berangkat dari pengamatannya terhadap kondisi perempuan Jawa tentang kekerasan, marginalisasi dan subordinasi. Untuk merealisasikan cita-cita tersebut, Kartini bersorak lantang bahwa “Kita harus membuat sejarah, kita mesti menentukan masa depan kita yang sesuai dengan keperluan serta kebutuhan kita sebagai kaum wanita dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti halnya kaum laki-laki”.

Sepertinya dulu Kartini pernah bermimpi, bahwa isu kekerasan terhadap perempuan (KtP) dalam bentuk apapun akan terkikis selang beberapa periode setelah kehidupannya. Ternyata mimpi Kartini keliru. Mimpi itu hanya menjadi asa yang selalu diharapkan namun tak berkesudahan.

Realitasnya, kasus-kasus KtP hingga saat ini setiap harinya selalu meningkat. Sepanjang tahun 2011 kemarin saja, total kekerasan yang didata dan dilaporkan sebesar 119.107, selisih 20.000 kasus lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. Lebih dari 95% dari kekerasan itu dialami perempuan di ranah domestik berupa kekerasan dalam rumah tangga dengan istri sebagai korban kekerasan yang paling dominan. Begitu juga dengan kasus KtP lainnya seperti pelecehan seksual, perkosaan, penyiksaan, marginalisasi, subordinasi, stereotype, beban ganda dan sebagainya.

Sementara itu, di Sumatera Barat kasus kekerasan terus bermunculan, kali ini merambah ke dunia pendidikan. Anak menjadi korban atas perlakuan yang seharusnya tidak mereka terima. Mereka cendrung disalahkan dan selalu diposisikan sebagai pelaku dan bagian dari kekerasan. Seharusnya mereka berhak mendapatkan advokasi dan penanganan khusus. Hal ini dikarenakan posisi mereka sebagai korban, bukan pelaku.

Diantara kasus yang pernah ditangani WCC Nurani Perempuan, anak sering dijadikan korban salah sasaran oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan. Salah satu kasus yang menimpa seorang siswi di Payakumbuh, terkait dugaan bahwa siswi (korban) melakukan tindakan di luar ambang kewajaran. Padahal korban hanya melakukan nikah sirri, dan hal itu diketahui oleh sanak saudaranya. Akibatnya, korban terancam diberhentikan sekolah  dan tidak bisa mengikuti Ujian Nasional (UN) lantaran alasan yang tak jelas. Jadi apa sebenarnya yang menjadi persoalan?

Kekerasan serupa juga terjadi di Kota Padang. Dua orang siswi sekolah menengah pertama (SMP) terancam putus sekolah. Usut perkara, kedua siswi terjaring dalam razia petugas Satpol PP dan kemudian diduga sebagai wanita panggilan. Karena itu, kedua siswi tersebut dikeluarkan dari sekolah dan tidak dibolehkan lagi menganyam bangku pendidikan di kota Padang. Semiris itu kah? Kebijakan tersebut disampaikan lansung oleh Wali Kota Padang Fauzi Bahar kepada kepala Dinas Pendidikan kota Padang pada Maret bulan lalu (22/3).

Mencermati fenomena di atas, kebijakan yang deskriminatif masih mewarnai dunia pendidikan. Kongkritnya, lembaga pendidikan tentu harus sensitive dengan isu-isu yang berkaitan dengan relasi kekerasan. Hak-hak anak dalam menerima pendidikan harus menjadi perhatian. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya. Sebagaimana prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak yang tertera dalam Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak pasal 2; (a) non-deskriminasi, (b) kepentingan yang terbaik bagi anak, (c) hak untuk hidup, kelansungan hidup dan perkembangan, (d) penghargaan terhadap anak.

Untuk mendorong terwujudnya kebijakan yang non-deskriminatif, maka WCC Nurani Perempuan menuntut kepada pemerintah kota padang (Sumatera Barat) dan lembaga terkait agar mensinergikan produk-produk kebijakan pendidikan yang ramah dan memihak terkait perlindungan hak-hak perempuan dan anak. Segera sikapi/tindak lanjuti kasus di atas secara proporsional. Serta menjadikan isu kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi isu penting dalam tujuan pembangunan nasional.

Dengan ini, semoga akan terlahir Kartini-Kartini muda yang lebih progresif untuk memajukan Indonesia, terutama Sumatera barat. (..)

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

No Response to "Selamatkan Hak Pendidikan Anak"

Posting Komentar